Saturday, December 22, 2007

PENENTUAN IDUL ADHA

PENENTUAN IDUL ADHA WAJIB BERDASARKAN RUKYATUL HILAL PENDUDUK MAKKAH

Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk idul Fitri. Madzhab Syafi’I menganut ru’yat local, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali menganut ru’yat Global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum muslimin. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum muslimin sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.

Namun khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya seluruh ulama Madzhab (Hanafi, Malii, Syafi’I, dan Hambali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia.

Oleh sebab itu, kaum muslimin dalam sejarahnya senantiasa berIdul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ Rasyidin, Umawiyin, Abbasiiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang. Namun, meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma’luumun minad dini bidi dilaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran Islam), anehnya pemerintah Indonesia dengan mengikuti fatwa sebagian ulama telah berani membolehkan perbedaan Idul Adha di Indonesia. Jadilah Indonesia sebagai satu-satunya Negara di muka bumi yang tidak mengikuti Hijaz dalam berIdul Adha. Sebab Idul Adha di Indonesia seringkali jatuj pada hari pertama dari hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada yaumun-nahr atau hari penyembelihan kurban (tanggal 10 Dzulhijjah).

Kewajiban kaum muslimin untuk berIdul Adha (dan BerIdul Fitri) pada hari yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara’. Diantaranya adalah sebagai berikut.

(1) Hadist Aisyah RA, beliau berkata “Rasulullah SAW telah bersabda:

“Idul Fitri adalah hari orang-orang (kaum muslimin) berkata. Dan Idul Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban.” (HR At Tirmidzi)

Imam At Tirmidzi meriwayatkan hadist yang serupa dari sahabat Abu Hurairah RA dengan lafal: “ Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri adalah hari mereka berbuka. Idul Ahda adalah hari mereka menyembelih kurban.

Imam At Tirmidzi berkata, “Sebagian ahlul ‘ilmi (ulama) menafsirkan hadist ini dengan menyatakan: “Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan bersama-sama jama’ah (masyarakan muslim di bawah pimpinan Khilafah/imam) dan sebahagian basar orang.”

Hadist di atas secara jelas menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan, berIdul Fitri, dan berIdul Adha bersama-sama orang banyak, yaitu maksudnya bersama kaum muslimin pada umumnya, baik tatkala mereka hidup bersatu dalam sebuah Negara khilafah seperti dulu, maupun tatkala mereka hidup bercerai berai dalam kurungan Negara-kebangsaan seperti saat ini setelah hancurnya khilafah di Turki tahun 1924.

Maka dari itu, seorang Muslim tidak dibenarkan berpuasa sendirian, atau berbuka sendirian (BerIdul Fitri dan berIdul Adha sendirian). Yang benar, dia harus berpuasa, berbuka dan berhari raya bersama-sama kaum muslimin pada umumnya.

(2) Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata : “Sesungguhnya Amir (wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :

“Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud)

Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah nabi SAW kepada Amir (wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru’yat. Di samping itu Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlal, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah) harus ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya. Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum Muslimin, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’. Dalam keadaan demikian, kaum muslimin seluruhnya di dunia wajib berIdul Adha pada yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah hai di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari hari Tasyriq) seperti di Indonesia.

(3) Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata :

“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah.”

Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi’I berkata:

“Disunahkan berpuasa pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) bagi mereka yang ukan jamaah haji.”

Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ‘ain atas seluruh kaum muslimin. Sebab, jika disyariatkan puasa bagi selain jamaah haji pada hari Arafah (tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.

Karena itu, atas dasar apa kaum muslimin di Indonesiaberpuasa Arafah justru pada hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah), yang sebenarnya adalah hari raya Idul Adha bagi mereka? Dan bukankanh berpuasa pada hari raya adalah perbuatan yang haram? Lalu atas dasar apa pula mereka sholat Idul Adha di luar waktunya dan malahan shulat Idul Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah (hari pertama dari hari Tasyriq)?Sungguh, fenomena di Indonesia ini adalah sebuah bid’ah yang munkar (id’ah munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim yang masih punya rasa takut kepada Allah dan azab-Nya!

Sebahagian orang membolehkan perbedaan Idul Adha dengan berlandaskan hadits”

“Berpuasalah kalian karena telah meru’yat hilal (mengamati adanya blan sabit), dan berbukalah kalian (berIdul Fitri) karena telah meru’yat hilal. Dan jika terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah!”

Beristidlal (menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk membolehkan perbedaan hari raya (termasuk Idul Adha) di antara negeri-negeri Islam dan untuk membolehkan pengalaman ilmu hisab, adalah istidlah yang keliru. Kekeliruannya dapat ditinjau dari beberapa segi :

Pertama, Hadits tersebut tidak menyinggung Idul Adha dan tidak menyebut-nyebut perihal Idul Adha, baik langsung maupun tidak langsung. Hadits itu hanya menyinggung Idul Fitri, bukan Idul Adha. MAka dari itu, tidaklah tepat beristidlal dengan hadits tersebut untuk membolehkan perbedaan Idul Adha berdasarkan perbedaan manzilah (orbit/tempat peredaran) bulan dan perbedaan mathla’ (tempat/waktu terbit) hilal, di antara negeri-negeri Islam. Selain itu, mathla’ hilal itu sendiri faktanya tidaklah berbeda-beda. Sebab bulan lahir di langit pada satu titik waktu yang sama. Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku untuk bumi seluruhnya. Yang berbeda-beda sebenarnya hanyalah waktu pengamatan ini pun hanya terjadi pada jangka waktu yang masih terhitung pada hari yang sama, yang selamanya tidak lebih dari 12 jam.

Kedua, hadits tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri berdasarkan ru’yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu hisab. Pada hadits tersebut tak terdapat sedikitpun “dalalah” (pemahaman) yang membolehkan pengalaman ilmu hisab untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Sedngkan hadits nabi yang berbunyi : “(…. Jika pandangan kalian terhalang), maka perkirakanlah hilal itu!” maksudnya bukanlah perkiraan berdasarkan ilmu hisab, melainkan dengan menyempurnakan bilangan Sya’ban dan Ramadhan sejumlah 30 hari, bila kesulitan melakukan ru’yat.

Ketiga, Andaikata kita terima hadits tersebut juga berlaku untuk Idul Adha dengan jalan Qiyas, padahal Qiyas tidak boleh ada dalam perkara ibadah, karena ibadah bersifat tauqifiyah, maka hadits tersebut justru akan bertentangan dengan hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, yang bersifat khusus untuk Idul Adha dan manasik haji. Dalam hadits tersebut, nabi SAW telah memberikan kewenangan kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan ru’yat bagi bulan Dzulhijjah dan untuk menetapkan waktu manasik haji berdasarkan ru’yat penduduk Makkah (bukan ru’yat kaum muslimin yang lain di berbagai negeri Islam).

Berdasarkan uraian ini, maka Indonesia tidak boleh berbeda sendiri dari negeri-negeri Islam lainnya dalam hal penentuan hari-hari raya Islam. Indonesia tidak boleh memandang ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin di seantereo pelosok dunia, karena seluruh Negara menganggap bahwa tanggal 10 Dzulhijjah ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Hijaz. Sungguh, tak ada yang menyalahi ijma’ kaum uslimin itu, selain Indonesia!

Lagipula, atas dasar apa hanya Indonesia sendiri menentang ijma’ tersebut dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan kaum muslimin? Apakah Indonesai besambisi untuk menjadi Negara pertama yang memelopori suatu tradisi buruk (sunnah sayyi’ah) sehingga para umaro’ dan ulama di Indonesia akan turut memikul dosanya dan dosa dari orang-orang yang mengamalkannya hingga hari kiamat nanti?

Kita percaya sepenuhnya, perbedaan hari raya di Dunia Islam saat ini sesungguhnya berpulang kepada perbedaan pemerintahan dan kekuasaan Dunia Islam, yang terpecah belah dan terkotak-kotak dalam 50-an lebih Negara kebangsaan yang direkayasa oleh kaum penjajah yang kafir.

Kita percaya pula sepenuhnya, bahwa kekompakan, persatuan, dan kesatuan Dunia Islam tak akan terwujud, kecuali di bawah naungan Khilafah Islamiyah Rasyidah. Khilafah ini yang akana mempersatukan kaum muslimin di seluruh dunia serta akan memimpin kaum muslimin untuk menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Insya Allah cita-cita ini dapat terwujud tidak lama lagi…!!!!

Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah !

(Sumber: Muhammad Shiddiq Al-Jawi)

VIVID / 2006

Friday, December 14, 2007

Nenek Pertama Pelaku Mati Syahid

Aku persembahkan jiwa raga ini untuk Allah, Palestina dan Al-Aqsha. Aku berharap Allah dapat menerima amal ibadahku ini. Aku juga berkorban demi para tawanan Palestina. Selanjutnya aku sampaikan salam untuk Abul Abad (Haneya) dan Al-Dhaif (Komandan AL-Qossam).

Perkataan terakhir inilah yang disampaikan Syahidah Hj Fatimah Al-Najjar (57 tahun). Ia mengakhiri hidupnya dengan pengorbanan dan kecintaan pada negerinya. Sebagaimana Ia telah menanamkan kecintaaan mati syahid pada anak-anaknya, beberapa saat sebelum ia betemu dengan Tuhannya, ketika ia meledakan dirinya di tengah serdadu Israel di Beth Hanon, Jalur Gaza.
Ummu Muhammad Fatimah Al-Najar adalah nenek pertama yang melakukan operasi mati syahid. Ia adalah salah satu sekian banyak dari para ibu yang sering kali menyaksikan pembantaian terhadap anak-anaknya, kehormatanya dirusak, rumahnya dihancurkan, pepohonannya ditumbangkan dibawah pantauan masyarakat dunia yang membisu.
Maka dengan keberanian yang membaja ia tampil membela negaranya dan mendahului para syuhada lainya.
Ummu Muhmmad teleh mengorbankan jiwa dan raganya di jalan Allah setelah sebelumnya ia serahkan rumahnya menjadi korban kemarahan serdadu Israel pada intifadhah yang lalu. Padahal rumah tersebut adalah tempat perlindungan para pengungsi Palestina yang diusir dari tanah airnya oleh Israel. Ia juga telah merelakan anak-anaknya menjadi tawanan mendekam di penjara-penjara Israel.
Dalam penuturannya Ummu Muhammad menyampaikan, operasi jihadnya ini adalah bagian kecil dari sejumlah operasi jihad lainya, yang akan segera dilakukan oleh para mujahid dan mujahidah Palestina. Tunggulah pembalasan Al-Qossam yang akan mengguncangkan wilayah kalian dengan idzin Allah. Jalur Gaza akan menjadi kuburan kalian, wahai para pengecut Israel.
Fatimah AL-Najar atau dikenal dengan nama Ummu Muhammad adalah ibu dari tujuh anak laki-laki dan dua anak perempuannya. Ia telah bergabung dengan barisan para pelaku syahid lainya. Ia telah mampu meluluhlantakan pengepungan Israel terhadap lebih dari 70 mujahid di Masjid Al-Nasher Beth Hanon.
Salah seorang anaknya menuturkan, ibunya selalu mengikuti aksi demo yang dilakukan oleh gerakan Hamas, disamping itu, ia juga ikut dalam berbagai kegiatan social lainya. Ia telah mendidik anak-anaknya untuk senantiasa berpegang pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Ia juga selelu berdo’a kepada Allah agar diberi kesempatan mati syahid.
Dalam salah satu pesan terakhirnya, Ummu Muhammad menyebutkan, dirinya telah menyerahkan jiwa dan raganya untuk Allah, Negeri Palestina dan Al-Aqsha.
Dan dalam rekaman yang disebarkan salah satu media Islam, Ummu Muhammad berkata, saya meminta kepada Allah agar dikumpulkan dengan para syuhada di Surga Naim. Aku juga berdo’a semoga Allah memberikan hidayah kepada anak-anakku dan membimbingnya ke masjid. Aku meminta kepada keluargaku agar membagi-bagikan makanan ketika mendengar kabar kesyahidanku. Sampaikanlah salamku pada Abu Abdi, Isamel Haneya, perdana menteri Palestina dan Muhammad Al-Dhaif, komandan tingi Izzuddin al-Qossam dan kepada para syuhada lainya.
Dengan operasi jihadnya ini, Ummu Muhammad telah menciptakan legenda perlawanan yang dilakukan para wanita Palestina, dengan tekad keimananya yang sangat kuat melebihi semua tentara dan singgasana.
Dunia dan seisinya lebih kecil menurut pandanganya dari pada membiarkan negara tetap terjajah, warganya teraniaya oleh musuh Israel laknatullah.

Wassalamu'alaikum.....
IFFAH FAISAH-2006