Wednesday, March 26, 2008

KETIKA AMANAH DIMAKNAI SEBAGAI KARIR DAKWAH

Di suatu hari yang cerah, beberapa akhawat duduk melingkar dan mereka membicarakan banyak hal, salah satunya adalah tentang da’wah kampus. Seorang al-ukh berkata,“Eh, si fulan karir da’wahnya sedang naik nih.” Ternyata berita seorang al-akh yang baru diamanahi sebagai ketua rohis fakultas di sebuah universitas, terdengar juga di telinga akhwat. Kemudian mereka membicarakan pula teman-teman lain yang karir da’wahnya sedang menanjak. Hmm...Karir Da'wah?


Di tempat lainnya, seorang aktivis sedikit mengeluh,“Masa gua lagi… gua lagi..yang ngerjain beginian, lah kapan gua naik pangkatnya...” Ia enggan mengerjakan tugas yang baginya tidak layak dikerjakan olehnya yang sudah seharusnya menjabat posisi tertentu.

Seorang aktivis murung, wajahnya meredup kala mengetahui bahwa dirinya tidak tercantum sebagai calon ketua keputrian rohis, padahal ia sangat yakin dirinya akan masuk nominasi. Ia mengeluh kian kemari, dan tidak habis pikir mengapa dirinya tidak masuk, apalagi nominasi lainnya jelas-jelas belum berhijab. Dan ia sibuk mencari pembenaran. Kecewa, ia merasa dirinya lebih pantas dari yang lain.

Karir Da’wah dan Kesiapan Pemahaman


Di dalam Buku “Manajemen Sumber Daya Manusia 2” oleh Garry Dessler, Career atau Karir diartikan sebagai seluruh jabatan yang didapatkan seseorang selama hidupnya. Dan Career Path atau Jenjang Karir adalah serangkaian pola dari pekerjaan-pekerjaan yang membentuk karir seseorang. Karir membutuhkan perencanaan, yang mana seharusnya sebuah organisasi memberi peluang kemajuan karir kepada anggotanya.

Sedang makna Da’wah adalah menyeru manusia kepada Al-Haq, menyeru manusia kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Di dalam da’wah, ada nilai-nilai yang harus diemban, yaitu keikhlasan, keteladanan, lemah lembut dalam menyuruh dan melarang, mengerti apa yang harus dilakukan dan adil terhadap apa yang harus dilarang. Da’wah dilakukan hanya karena Allah dan sang pengemban da’wah tidak meminta imbalan kepada siapapun kecuali imbalan dari Allah SWT. Tanpa orientasi “Allahu Ghoyatuna” ini, maka rusaklah da’wah yang diserukan, sia-sia sajalah apa yang sang da’i usahakan.

Di dalam organisasi da’wah, memang ada konsep fase-fase Da’wah Fardiyah untuk membentuk seorang kader. Fase yang pertama adalah tsiqoh, fase kedua menyatu dengan da’wah, dan ketiga adalah bergerak bersama da’wah. Namun yang sering terjadi adalah lompatan fase akibat mengejar target jumlah kader, yaitu dari fase pertama melompat ke fase ketiga. Di mana saat fase ketiga ini, seseorang diajak bergerak bersama dalam da’wah, dalam kepanitiaan atau kepengurusan misalnya. Akhirnya timbullah gerak tanpa ruh, gerak tanpa diiringi pemahaman mendalam tentang esensi da’wah. Hingga muncullah kader-kader yang menganggap amanah kepemimpinan sebagai wujud keistimewaan, amanah sebagai wujud karir.

Ketika seseorang bergabung dalam organisasi da’wah maka seharusnya orientasinya bukanlah duniawi, tetapi ukhrawi. Ada cita-cita bersama dalam jamaah. Sebuah organisasi memang menjadi tempat untuk menggali potensi diri. Di dalam organisasi, kita dapat berlatih dinamika kelompok. Di dalam organisasi, kita sparring dengan dunia kampus. Namun organisasi da’wah berbeda dengan organisasi lain karena organisasi da’wah menggelar acara dengan tujuan berda’wah, karena Allah. Dan ketika seseorang yang belum memiliki pemahaman yang benar tentang da’wah diserahi amanah sebagai pemimpin misalnya, yang terjadi adalah terselenggaranya acara tanpa diiringi ruh da’wah, yang terjadi adalah kader-kader yang berorientasi hasil dan bukan proses. “Ane merasa menjadi sapi perah di organisasi ini…” Demikian keluhan seorang al-akh yang notabene seorang kader senior yang diungkapkan lewat sebuah forum tertutup.

Hakekat Amanah


Berikut ini adalah hal-hal yang harus dipahami ketika seseorang memiliki amanah:

1. Amanah = Tanggung Jawab.
Di dalam Islam, sebuah amanah kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapanNya. Ketika Allah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tak ada yang mau menerimanya kecuali manusia. Dan adalah manusia itu sangat zalim dan bodoh. “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS.34:71)

2. Jangan Merasa Berbeda
Seorang al-ukh yang seniot menegur juniornya yang tengah sibuk membuat mading masjid. Ia berkata,“Dek, tidak seharusnya kamu mengerjakan ini, teman-teman yang lain kan bisa melakukannya.” Sang senior beranggapan bahwa hal remeh temeh tidak seharusnya dilakukan oleh sang junior yang menjabat sebagai ketua keputrian rohis. Sang junior menatap seniornya, terdiam sebentar dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia sangat tidak setuju dengan pendapat seniornya karena ia teringat Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam saat memerintahkan untuk menyembelih seekor domba. Seseorang berkata, "Akulah yang akan menyembelihnya", yang lain berkata "Akulah yang akan mengulitinya", Lalu Beliau bersabda, "Akulah yang akan mengumpulkan kayu bakarnya." Mereka berkata, "Kami akan mencukupkan bagi engkau." Beliau bersabda, "Aku sudah tahu kalian akan mencukupkan bagiku. Tapi aku tidak suka berbeda dari kalian. Sesungguhnya Allah tidak menyukai hambaNya yang berbeda di tengah-tengah rekannya.”

3. Besarnya Amanah Bukanlah Indikasi ‘Lebih Baik’
Orang-orang terdahulu sangat memahami hakikat amanah sehingga mereka tidak memandangnya sebagai kelebihan, justru sebagai sebuah beban. Sebagaimana pidato Umar bin Abdul Aziz saat naik ke podium negara untuk pertama kalinya,”Ketahuilah bahwa aku bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Akan tetapi, aku hanyalah seorang laki-laki seperti kamu semua. Namun Allah telah menjadikan aku sebagai orang yang paling berat bebannya di antara kamu."

4. Membumi Bersama Anggota
Pemimpin dalam Islam, bukan sekedar memerintah tetapi juga terjun langsung bersama anggotanya. Ini bukan berarti sang pemimpin tidak memiliki kafaah pendelegasian tugas, namun karena selayaknya seorang pemimpin memberikan teladan dan melayani. Hal ini sebagaimana Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tunjukkan keteladanan itu ketika Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam membangun masjid Nabawi di Madinah bersama para sahabatnya. Beliau tidak hanya menyuruh dan mengatur atau tunjuk sana tunjuk sini, tapi beliau turun langsung mengerjakan hal-hal yang bersifat teknis sekalipun. Beliau membawa batu bata dari tempatnya ke lokasi pembangunan.

5. Berendah Hatilah
Sesungguhnya kita harus senantiasa berendah hati dan berlemah lembut terhadap orang-orang yang beriman. Memiliki jabatan bukan berarti angkuh di atas singgasana dan hanya memberi instruksi. Lihatlah Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang datang ke sebuah pasar untuk mengetahui langsung keadaan pasar, maka ia datang sendirian dengan penampilan biasa, bahkan sangat sederhana sehingga ada yang menduga kalau ia seorang kuli panggul lalu orang itupun menyuruhnya untuk membawakan barang yang tak mampu dibawanya. Umar membawakan barang orang itu dengan maksud menolongnya, bukan untuk mendapatkan upah. Namun ditengah jalan, ada orang memanggilnya dengan panggilan ‘Amirul Mu’minin’ sehingga pemilik barang yang tidak begitu memperhatikannya menjadi memperhatikan siapa orang yang telah disuruhnya membawa barangnya. Setelah ia tahu bahwa yang disuruhnya adalah seorang khalifah, iapun meminta maaf, namun Umar merasa hal itu bukanlah suatu kesalahan.

6. Jangan Karena Ambisi

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam berkata kepada Abdurrahman bin Samurah,“Janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya.” (HR.Bukhari dan Muslim)

Namun bukan berarti pula kita tidak boleh menerima amanah. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,“Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang-orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat.” (HR. Ahmad).

Atau seperti ucapan Nabi Yusuf di Surat Yusuf ayat 55,”Berkata Yusuf, 'Jadikankah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (QS.12:55)

NB: SUBHANALLAH !! hr ini adalah hari yang penuh ujian untuk ana. Ketika ada sebuah amanah besar yang harus ana emban. Sementara amanah yang lainnya harus tetap berjalan. YA ALLAH, semoga keikhlasanq tetap terjaga. Jangan biarkan syetan masuk untuk menghancurkan semua ini. Disaat medan da'wah semakin curam, disaat tantangan semakin besar, semoga kita semua tetap istiqomah di jalanNya. Ingat kita udah MAHASISWA!! Apalagi Aktivis Dakwah Kampus!! So, peran kita sangatlah diperlukan untuk merubah dunia ini. Ingat kan 3 fungsi mahasiswa?? Yaitu sebagai Agent Of Change, Moral Force, dan Iron Stock. Tadi malam tepat pukul 22.30 ada sms datang, SELAMAT dek. anti diterima di.........! semoga bisa menjalankan amanahnya dengan baik. Kemudian jam 08.30 tadi ana dapat sms lagi, SELAMAT anda telah diberi kepercayaan untuk memegang amanah ........! SUBHANALLAH..... tubuh ini menjadi dingin. Alhamdulillah gak sampe pingsan. Ya ALLAH, berilah hambaMu ini kemudahan dalam berjihad di jalanMu. InsyaAllah dengan ridhoMu, ana bisa memberikan yang terbaik untuk da'wah ini.

Organisasi da’wah tentu memiliki struktur dan itu hanya untuk memudahkan kinerja, maka hendaknya kita tidak memandang istimewa seseorang dari jabatannya, tetapi dari ketaqwaannya.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak memandang postur tubuhmu dan tidak pula pada kedudukanmu maupun harta kekayaanmu, tetapi Allah memandang pada hatimu. Barangsiapa memiliki hati yang shaleh maka Allah menyukainya. Bani Adam yang paling dicintai Allah ialah yang paling bertaqwa.” (HR. Muslim).

Setelah memahami apa dan bagaimana amanah, maka tidak selayaknya seorang kader memandang mulia orang yang besar amanahnya dan memandang rendah dirinya hanya karena amanahnya tidak besar. Tidak selayaknya pula seorang aktivis merangkai jenjang karir berupa karir da’wah dan menghitung-hitung untung rugi, karena sesungguhnya Allah tidak menilai besar kecilnya amanah, Allah tidak menilai tinggi rendahnya jabatan, tetapi Allah menilai kesungguhan dan keikhlasan kita. Biarlah Allah saja yang membalas da’wah kita ini, dan katakanlah sebagaimana para nabi telah berkata,“Sesungguhnya aku tidak meminta upah kepadamu atas seruanku ini, upahku hanyalah dari Allah, Tuhan Semesta Alam.” Wallahu’alam bishowab.

HAMASAH !!!

Jazakumulloh khairan katsiran.

Anik Rahmawati P_06

1 comment:

Unknown said...

Ulasan sangat menarik mengenai dakwah yang dimaknai sebagai karier, maka pelakunya pun selayaknya diberi gelar artis dakwah yang tebar pesona. lalu dimanakah ikhlas dan ikhsan?

secara alamiah memang sebuah jabatan akan diemban angkatan tertentu. perhatikan ketua rohis atau ketua bem atau ketua apapun bahkan tni, mengikuti alur ini dan semoga bukan karena semangat angkatan yang muncul namun karena kualitas seseorang yang sudah mencapai usia atau angakatan tertentu memang lebih mapan meskipun tidak selamanya benar.

namun renungan juga bagi antum yang memang sudah berpengalaman di bidangnya maupun memiliki keyakinan bahwa diri sanggup memikul amanah tersebut, jangan ragu untuk mengungkapkannya dan bahkan memintanya seperti nabi yusuf yang memang mampu menjadi bendahara negara dan mengungkapkannya demi kemaslahatan umat.

sebuah anekdot tentang pilkada, seorang bupati yang ijasahnya palsu ditanya mengapa ia berani mencalonkan diri kalo tau ijasahnya palsu?ia menjawab kalo ijasah saya asli saya daftar jadi gubernur :) maka sungguh lebih layak para pekerja sejarah seperti antumlah yang berhak menjadi pemimpin