Monday, April 28, 2008

20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional ???

Kelahiran organisasi Boedhi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 sesungguhnya amat tidak patut dan tidak pantas diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena organisasi ini mendukung penjajahan Belanda, sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, a-nasionalis, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya merupakan anggota Freemasonry Belanda (Vritmejselareen).

Dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam yang dilakukan oleh para penguasa sekular. Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.

Mengapa BO yang terang-terangan antek penjajah Belanda, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, a-nasionalis, tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, dan anti-agama malah dianggap sebagai tonggak kebangkitan bangsa? Ini jelas kesalahan yang teramat nyata.

Anehnya, hal ini sama sekali tidak dikritisi oleh tokoh-tokoh Islam kita. Bahkan secara menyedihkan ada sejumlah tokoh Islam dan para Ustadz selebritis yang ikut-ikutan merayakan peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei di berbagai event. Mereka ini sebenarnya telah melakukan sesuatu tanpa memahami esensi di balik hal yang dilakukannya. Rasulullah SAW telah mewajibkan umatnya untuk bersikap: “Ilmu qabla amal” (Ilmu sebelum mengamalkan), yang berarti umat Islam wajib mengetahui duduk-perkara sesuatu hal secara benar sebelum mengerjakannya.

Bahkan Sayyid Quthb di dalam karyanya “Tafsir Baru Atas Realitas” (1996) menyatakan orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup adalah sama dengan orang-orang jahiliyah, walau orang itu mungkin seorang ustadz bahkan profesor. Jangan sampai kita “Fa Innahu Minhum” (kita menjadi golongan mereka) terhadap kejahiliyahan.

Agar kita tidak terperosok berkali-kali ke dalam lubang yang sama, sesuatu yang bahkan tidak pernah dilakukan seekor keledai sekali pun, ada baiknya kita memahami siapa sebenarnya Boedhi Oetomo itu.

Pendukung Penjajahan Belanda

Akhir Februari 2003, sebuah amplop besar pagi-pagi telah tergeletak di atas meja kerja penulis. Pengirimnya KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun 1924. Di dalam amplop coklat itu, tersembul sebuah buku berjudul “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” karya si pengirim. Di halaman pertama, KH. Firdaus AN menulis: “Hadiah kenang-kenangan untuk Ananda Rizki Ridyasmara dari Penulis, Semoga Bermanfaat!” Di bawah tanda tangan beliau tercantum tanggal 20. 2. 2003.

KH. Firdaus AN telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Namun pertemuan-pertemuan dengan beliau, berbagai diskusi dan obrolan ringan antara penulis dengan beliau, masih terbayang jelas seolah baru kemarin terjadi. Selain topik pengkhianatan the founding-fathers bangsa ini yang berakibat dihilangkannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945, topik diskusi lainnya yang sangat konsern beliau bahas adalah tentang Boedhi Oetomo.

“BO tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya, ” tegas KH. Firdaus AN.

BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.

Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka, ” papar KH. Firdaus AN.

Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. ” Inilah tujuan BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.

Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya... Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan. ”

Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938.

Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak ada satu pun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan chauvinisme sempit sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah mengecewakan dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya hengkang dari BO.

Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895.

Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr. Th. Stevens), sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.

Dalam tulisan kedua akan dibahas mengenai organisasi kebangsaan pertama di Indonesia, Syarikat Islam, yang telah berdiri tiga tahun sebelum BO, dan perbandinganya dengan BO, sehingga kita dengan akal yang jernih bisa menilai bahwa Hari Kebangkitan Nasional seharusnya mengacu pada kelahiran SI pada tanggal 16 Oktober 1905, sama sekali bukan 20 Mei 1908.

Dalam tulisan bagian pertama, telah dipaparkan betapa organisasi Boedhi Oetomo (BO) sama sekali tidak pantas dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Karena BO tidak pernah membahas kebangsaan dan nasionalisme, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya ternyata anggota Freemasonry. Ini semua mengecewakan dua pendiri BO sendiri yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya akhirnya hengkang dari BO.

Tiga tahun sebelum BO dibentuk, Haji Samanhudi dan kawan-kawan mendirikan Syarikat Islam (SI, awalnya Syarikat Dagang Islam, SDI) di Solo pada tanggal 16 Oktober 1905. “Ini merupakan organisasi Islam yang terpanjang dan tertua umurnya dari semua organisasi massa di tanah air Indonesia, ” tulis KH. Firdaus AN.

Berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura—juga hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura—sifat SI lebih nasionalis. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku seperti: Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku.

Guna mengetahui perbandingan antara kedua organisasi tersebut—SI dan BO—maka di bawah ini dipaparkan perbandingan antara keduanya:

Tujuan:
- SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya,
- BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan Jawa-Madura (Anggaran Dasar BO Pasal 2).

Sifat:
- SI bersifat nasional untuk seluruh bangsa Indonesia,
- BO besifat kesukuan yang sempit, terbatas hanya Jawa-Madura,

Bahasa:
- SI berbahasa Indonesia, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Indonesia,
- BO berbahasa Belanda, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Belanda

Sikap Terhadap Belanda:
- SI bersikap non-koperatif dan anti terhadap penjajahan kolonial Belanda,
- BO bersikap menggalang kerjasama dengan penjajah Belanda karena sebagian besar tokoh-tokohnya terdiri dari kaum priyayi pegawai pemerintah kolonial Belanda,

Sikap Terhadap Agama:
- SI membela Islam dan memperjuangkan kebenarannya,
- BO bersikap anti Islam dan anti Arab (dibenarkna oleh sejarawan Hamid Algadrie dan Dr. Radjiman)

Perjuangan Kemerdekaan:
- SI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengantar bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan,
- BO tidak pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan telah membubarkan diri tahun 1935, sebab itu tidak mengantarkan bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan,

Korban Perjuangan:
- Anggota SI berdesak-desakan masuk penjara, ditembak mati oleh Belanda, dan banyak anggotanya yang dibuang ke Digul, Irian Barat,
- Anggota BO tidak ada satu pun yang masuk penjara, apalagi ditembak dan dibuang ke Digul,

Kerakyatan:
- SI bersifat kerakyatan dan kebangsaan,
- BO bersifat feodal dan keningratan,

Melawan Arus:
- SI berjuang melawan arus penjajahan,
- BO menurutkan kemauan arus penjajahan,

Kelahiran:
- SI (SDI) lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober 1905,
- BO baru lahir pada 20 Mei 1908,

Seharusnya 16 Oktober
Hari Kebangkitan Nasional yang sejak tahun 1948 kadung diperingati setiap tanggal 20 Mei sepanjang tahun, seharusnya dihapus dan digantikan dengan tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam. Hari Kebangkitan Nasional Indonesia seharusnya diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bukan 20 Mei. Tidak ada alasan apa pun yang masuk akal dan logis untuk menolak hal ini.

Jika kesalahan tersebut masih saja dilakukan, bahkan dilestarikan, maka saya khawatir bahwa jangan-jangan kesalahan tersebut disengaja. Saya juga khawatir, jangan-jangan kesengajaan tersebut dilakukan oleh para pejabat bangsa ini yang sesungguhnya anti Islam dan a-historis.

Jika keledai saja tidak terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali, maka sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia seharusnya mulai hari ini juga menghapus tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, dan melingkari besar-besar tanggal 16 Oktober dengan spidol merah dengan catatan “Hari Kebangkitan Nasional”. (Tamat/Rizki Ridyasmara).

Waah…tulisan yang luar biasa, sampai-sampai mungkin sebagian dari kita akan semakin bingung dengan semua pelajaran sejarah yang kita pernah dapatkan. Mungkin akan timbul lagi pertanyaan yang sangat logis,”Bagaimana sejarah Negara saya sebenarnya??”

Artikel ini saya peroleh dari sebuah media Islam yang cukup termasyhur juga. Bukan dalam sebuah artian artikel ini suatu kebenaran mutlak, namun, jauh dari semua itu artikel ini butuh suatu kritik yang logis. Artikel ini membutuhkan suatu tanggapan. Ayo…saudara-sejarah Negara Indonesia tercinta.

Kita hidup dalam sebuah masyarakat yang cerdas. Salah satu penanda yang cukup untuk dikatakan sebagai masyarakat cerdas adalah kemampuan untuk menampilakan bukti dan fakta, bukan hanya sekedar asumsi yang justru akan membuat kita jauh dari realita yang terjadi. Jadi, kita sampaikan pula bukti yang kita punya dalam setiap argumentasi yang kita buat. OK…


Dimas Agil Marenda’2007

Tuesday, April 22, 2008

Selamat Hari Kartini (RA Kartini yang sebenernya)

Salahsatu pahlawan wanita yang cukup populer di bangsa ini adalah R.A. Kartini, tahukah Anda tentang seorang Kartini sebenarnya?? Berikut beberapa dokumentasi sejarah Kartini melalui surat-suratnya; ada attachment berupa file aplikasi untuk handphone Anda yang menggunakan OS Symbian, (sumber: www.inhandlearning. com )


Menuju Cahaya...

”Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa?? Agama Islam melarang ummatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? ?”

”Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu”

”Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella??” [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]

Cerminan kritis dan rasa ingin tahu yang tinggi dari seorang Kartini terlukis jelas dalam tulisan tersebut. Hingga suatu hari, takdir mempertemukan pada suatu pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Pengajian dibawakan oleh seorang ulama yang bernama Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar ( atau dikenal Kyai Sholeh Darat) tentang Tafsir Al-Fatihah.

Terjadilah dialog antara Kartini dengan Kyai Sholeh Darat;

”Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya??” tanya Kartini.

Tertegun Kyai Sholeh Darat.

”Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian??”. Kyai Sholeh Darat balik bertanya.

”Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia??” balas Kartini.

Pertemuaan singkat inilah yang kemudian melahirkan jilid pertama Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran, yakni terjemahan Al-Quran dalam bahasa Jawa dari juz 1-13 karya Kyai Sholeh Darat, yang kemudian dihadiahkan pada pernikahan R.A. Kartini.

Mulailah Kartini belajar Islam dengan arti yang sesungguhnya, hingga pada suatu waktu Kartini begitu terkesan betul dengan ayat berikut;

”Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung nya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” [2:257]

Kata-kata minazh zhulumaati ilan nuur ini sering diulang-ulangnya, dari gelap kepada cahaya. Bagi Kartini, terasa benar pengalaman pribadi tersebut, dari kegelisahan dan pemikiran tak berketentuan kepada pemikiran hidayah.

Dalam surat-suratnya kemudian, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat ”Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Istilah ini yang dalam Bahasa Belanda adalah ”Door Duisternis Tot Licht”, kemudian menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan oleh Armijn Pane menjadi ”Habis Gelap Terbitlah Terang”

Masa-masa berikutnya adalah di mana seorang Kartini mengalami transformasi spiritual yang luar biasa. Hingga mengubah pandangannya terhadap berbagai hal, misal setelah sekian lamanya bilau kagum terhadap masyarakat Eropa yang saat itu menurutnya lebih maju;

”Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakan ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban??”
[Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]

Dalam surat lain Kartini bertekad untuk memperbaiki citra Islam yang selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan;

”Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

”Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Allah, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.”
[Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903]

”Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia pun, ia sebenar-benarnya bebas” [Surat Kartini kepada Ny. Ovink, Oktober 1900]

Begitulah seorang Kartini, melalui dedikasi dan militansinya mengangkat derajat bangsa ini kepada sebenar-benarnya hidayah. Tidak sekedar tunduk kepada bangsa lain. Militansi memang tidak harus selalu berhubungan dengan militer atau senjata. Militansi juga termasuk sifat-sifat yang tercermin dari jiwa keprajuritan seorang Kartini; tidak mangkir dari tugasnya memahami Islam kemudian mendakwahkan, memperbaiki citra Islam dengan berbagai resiko, kesanggupan mengoreksi kezhaliman, dan banyak lagi. Akankah lahir Kartini – Kartini baru di negeri ini??


Selamat Hari Ibu...
Seorang Ibu dengan keshalehannya diberkahi, hingga syurga berada di telapak kakinya..



* ”Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah (Abdulloh)”
[Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903]

Sumber :
http://fighter495. multiply. com/journal/ item/58
http://pangerans. multiply. com/reviews/ item/541/ Surat_Kartini_ kepada_Stella_ 6_November_ 1899?replies_ read=3


-ANDI/2005-

Monday, April 14, 2008

Ketika Idealisme Diuji

Afwan jika nantinya dalam tulisan ini, ane sedikit “rasis”. Bermula dari pembicaraan dengan seorang adik kelas (lagi), ane menanyakan apakah ada ikhwan angkatannya yang mendaftar di STAN. Lalu adik tersebut menjawab, “Gak ada (atau sedikit sekali, ane lupa. afwan.) Mbak. Mereka ingin mempertahankan idealismenya.” Mungkin ada yang bingung, apa hubungan STAN dengan ke-idealisme-an. Ya! Seperti yang sudah diketahui, bahwa nantinya lulusan STAN hampir dapat dipastikan akan menjadi pengawal keuangan Negara (kami menyebut “pegawai Departemen Keuangan” sebagai “pengawal keuangan Negara”). Dan, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa bekerja di Departemen Keuangan akan sering bersinggungan dengan uang yang tidak jelas asalnya alias korupsi. Begitu… Sepertinya mereka (ikhwan adek kelas ane) ingin mempertahankan idealisme mereka dengan tidak bersinggungan dengan uang-uang gak jelas ini. Lalu, ane berdiskusi dengan beberapa teman ane tentang masalah ini dan muncul dalam pikiran ane, “Oiya..ya..justru ketika masuk STAN, idealisme tersebut akan teruji”. Kok bisa?
Sedikit menyimpang dari tema, mungkin beberapa orang berpikir, ketika seseorang memutuskan untuk masuk STAN, dia tidak akan lebih dibutuhkan dibandingkan ketika dia kuliah di tempat lain. Kabarnya sih, suasana di STAN itu sudah kondusif (dan itu memang benar), jadi pasti kadernya banyak. Makanya seorang aktivis dakwah lebih dibutuhkan di kampus lain (ini pendapat banyak orang). Akhi, Ukhti…ketika antum melihat banyaknya ikhwah di STAN, ya! Itu memang benar, tapi tak sepenuhnya, karena nyatanya kamipun tetap kekurangan kader. Nyatanya, kami, ikhwah STAN, kadang kesulitan ketika harus menempatkan kader dalam wajihah-wajihah (organisasi). Apa masalahnya? Ya itu tadi, kami kekurangan kader. Sampai-sampai seorang kader harus memegang amanah dobel2 yang membuat ia tak bisa fokus dalam wajihahnya. Ane tau, di kampus lain pun juga mengalami masalah saperti ini. Yang ingin ane tekankan adalah, kader itu dibutuhkan dimana saja ia berada, baik di STAN maupun di kampus lain (afwan, hati ini merasa sedikit sakit saat ada ikhwah yang bilang, “Antum lebih dibutuhkan di kampus lain”, ketika ada ikhwah lain yang memutuskan masuk STAN, afwan… tapi insyaAllah sekarang udah engga' sakit hati, piss….^-^v)
Sebelum sampai pada kesimpulan tentang idealisme, boleh ane berbicara lebih jauh? Tentang birokrasi. Banyak ikhwah yang tak suka menjadi pegawai negeri. Ya! Tak masalah, toh orang bebas memilih apa yang diingininya. Ane kadang sedih ketika ada ikhwah yang memandang sebelah mata terhadap profesi yang satu ini. Ketika sebuah perjuangan dakwah itu dilakukan, ketika ingin menegakkan daulah Islamiyah, tidak bisa hanya dari satu sisi saja, tapi harus dari semua sisi, dan salah satunya adalah sisi pemerintahan. Mungkin banyak yang berfikir, “Toh kita hanya jadi bawahan, bukan sebagai pembuat kebijakan." Tapi, ketika tidak dimulai dari bawah, maka tak akan pernah ada. Ketika bidang ini “dipegang” oleh ikhwah, perjuangan menegakkan khilafah Islamiyah insyaAllah akan lebih mudah.
Kembali lagi ke pokok permasalahan, tentang idealisme. Teringat cerita mbak murobbiy ane tentang suaminya yang juga bekerja di DepKeu. (Dari sini, sudut pandangnya adalah mbak murobbiy ane) Suatu hari, suami mbak menangis, dia berkata, “Uang di sana bagai laron yang beterbangan. Mudah sekali ditangkap." Dia menangis, bayangin dek, seorang lelaki menangis. Lalu mbak berkata, “Lebih baik saya dan anak-anak kelaparan daripada harus memakan uang haram tersebut (so sweet…^-^)." ( sekarang balik lagi ke sudut pandang ane ya!) Ya…jangan jadikan idealisme sebagai alasan. Karena ke-idealisme-an antum akan diuji dimanapun antum berada, dan di STAN ujiannya mungkin berupa harta kekayaan. Walaupun banyak yang berguguran, tapi banyak juga yang lolos. Selalu ada seleksi alam Akhi, Ukhti…untuk membuktikan seberapa kuat kita berpegang pada idealisme kita. Itulah…ketika idealisme itu diuji. Jadi, silakan masuk STAN, dan buktikan idealisme antum (afwan, bukan bermaksud rasis, cuma promosi, ^-^)
Wallahu a’lam bis shawab
Nb : silakan menanggapi artikel ini, terutama untuk yang merasa ane bicarakan dalam artikel di atas, ane mau tabayyun, gak mau su'udzon. Syukron katsir.
Nee’06